Komedi

Lagi-lagi cinta kita seperti komedi,
sebentar menangis,
sebentar marah,

sebentar kecewa,
sebentar tertawa.

Tapi semakin lama
kita semakin lupa
semua itu hanya pura-pura.



22/06/2014

Batuk Ayah

Semalam suntuk ayah batuk-batuk.
Aku baru pulang dari kantuk,
ketika menengok kamar ayah.

Aku menatap ayah,
batuknya membentak.

Ragu-ragu aku berkata,
“Ayah, tidurlah.
Malam ini batukmu akan kubetulkan,
agar tak manja dan mengadat lagi.”

Esoknya ayah hilang.
Dua tiga hari hingga seminggu,
tak juga pulang,
sampai aku rindu
bagaimana batuknya sekarang.

“Ayah, bagaimana batukmu?”
                        ughuk...
           ughuk...
                                    ughuk...
ughuk...



28/05/2014

Jari Manis

Malu-malu aku menulismu
dengan jari yang masih lugu
pada ujungnya senyummu berlalu.

Tinta pena tak mau nyata
ia kecewa pada kata-kata
yang sedikit lalu seolah
menjadi luka.

Seperti malam yang kian masam,
aku melipat penat yang pucat,
bersama kalimat yang sekarat.

Baiklah aku akan menulismu
meski ajal kian memejal
yang membuatku terpintal-pintal
dalam hujan yang lama kelam.

Siapa namamu atau bagaimana rupamu
itu bukanlah menjadi soal
asal kamu paham akan muasal
dan bagaimana kamu kembali kekal.

Ialah kamu sudah kutulis
tapi tangis semakin gerimis
menitis pada ujung jari manis.



22/06/2014

Aku Mendengar Angin

Aku mendengar zikir angin,
dari daun-daun
yang melupakan dingin.

Semua anak burung
melawan nasib masing-masing.
Semua anak ranting
akan jatuh dari puting susu ibunya.

Kesadaran harus dibangunkan,
agar kita ingat perlunya kesetiaan.

Kehilangan akan tetap kehilangan,
semisal waktu yang percaya masa lalu.



3/06/2014

Balada Penjual Iman

Semalam, di pasar, selepas salat petang,
aku melihat serombongan orang
membawa hati masing-masing
dibungkus kesucian sorban.

Takbir diserukan lantang.
“Allahu Akbar!” “Allahu Akbar!”

Lebih lantang mereka melanjutkan,
“Keimanan! Siapa yang hendak membeli keimanan!
Ada diskon besar-besaran!”

Seperti Ipin di film orang-orangan,
aku pun menggumamkan,
“Kasihan – kasihan – kasihan.”
Benar, mereka berani menjual hati berikut isi,
demi memanjakan perut doang.

Setelah barang dagangan terjual,
mereka pulang,
dengan senyum girang,
dengan senyum kemenangan.

Mereka pun kenyang
“Allahu Akbar!”



14/05/2014

Peluklah Aku

Peluklah aku, Ibu,
dan nyanyikan
kasidah bintang-bintang.
Sebab, tubuhmu sungai,
yang menghanyutkan sakitku



23/11/2013

Di Matanya

Di matanya,
aku melihat serbuk-serbuk puisi,
seperti taburan kopi,
yang diseduh setiap pagi



14/11/2013
Back to top